Jumat, 19 April 2013

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak



PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
JIWA PADA ANAK (USIA 0-5, 6-12)

Agar kita mendapat gambaran yang konkrit tentang bagaimana menanamkan kepribadian muslim di masa anak-anak ini, dapat kita perhatikan beberapa uraian berikut :
1. Periode Anak Pertama (umur 0-2 tahun) Keluarga merupakan mikrokosmos tempat-tempat manusia baru digembleng, dilatih, dididik, dipersiapkan untuk mengarungi kehidupan yang lebih luas. Oleh karena itu pendidikan agama harus di mulai dari rumah tangga sejak anak masih kecil, mengingat bahwa yang mengendalikan dan tindakan seseorang adalah kepribadiannya yang terbentuk dan tumbuh dari pengelaman-pengalaman yang dilalui anak sejak lahir. Anak pada umur ini baru mengenal tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya dan yang dirasakannya serta ucapan-ucapan yang didengarnya. Tetapi perlu diingat bahwa pada tahun-tahun pertama pertumbuhan anak belum mampu berfikir secara logis
2. Periode Anak Kedua (umur 3-4 tahun) Pada periode kedua ini yang penting diperhatikan oleh orang tua dan anggota keluargnya adalah anak sudah mempunyai ciri-ciri pertumbuhan psikisnya, untuk itu orang tua harus bisa memanfaatkan kesempatan emas ini agar anak-anak nanti bisa diharapkan kebaikannya.Ciri-ciri tersebut adalah suka disayang, suka meniru, suka dipuji, sukadiperhatikan, suka bermain, suka bertanya, suka menang sendiri dan suka memprotes. Oleh karena itu kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung. Karena itu apabila anak memperlihatkan akhlak yang baik dan perbuatan yang terpuji hendaklah dihargai dengan jalan memberikan puji-pujian dihadapan umum agar dia gmbira dan merasa senang menelusup kedalam jiwanya. Jika anak melakukan kesalahan, hendaklah dikesampingkan dan tidak dibuka di depan umum dan jangan dijadikan buah pembicaraan terutama anak-anak berusaha untuk menutupinya.
3. Perionde Anak Ketiga (5-6 tahun) Kita pun menyadari bahwa anak-anak bagaikan kuncup atau tunas yang masih hijau dan lembut, mereka dengan mudah dapat dibengkokkan ke arah yang diinginkan, yang tidak kalah penting dalam usia ini adalah penggunaan basmalah, hamdalah, salam, minta izin, berterima kasih dan sebagainya, hendaklah diajarkan pada anak dalam praktek yang sebenarnya. Di samping itu dapat juga diajarkan bacaan/hafalan-hafalan surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, hal ini dimaksudkan supaya anak dapat melafalkan tulisan-tulisan Arab yang baik, sehingga pada saat anakmencapai umur diwajibkan nantinya tidak merasa canggung dan tidak pula mengalami kesulitan.
4. Periode Anak Keempat (7-12 tahun) Kita telah mengetahui bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua tempat anak-anak melatih dan menumbuhkan kepribadiannya. Sekolah bukan hanya tempat untuk menuangkan ilmu pengetahuan agar ditampung dalam otak kepala anak-anak, melainkan juga harus tepat mendidik dan membina kepribadiannya. Sesungguhnya pendidikan Islam adalah mencetak muslim yang baik. Oleh karena itu anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama, akan ikut membantu kelancaran anak menumbuhkan kepribadiannya. Sebab anak pada umur 7 tahun ke atas, perasaan terhadap Tuhan telah berganti lebih positif dan hubungannya dipenuhi dengan rasa percaya dan rasa aman. Karena pengaruh dari kemajuan IPTEK dan juga pengaruh daripola hidup yang bersifat materialistik maka menyebabkan ayah dan ibu terlalu sibuk dalam mengejar harta. Sehingga mereka melupakan tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya, bahkan tidak sempat lagi memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya, apalagi mendidik agama kepada mereka. Selain itu masih banyaknya orang tua yang minim dalamhal agama Islam, baik secara ilmiah maupun secara amaliah, sehingga mereka kurang mampu untuk mendidik agama kepada anak-anaknya.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan orang tua mempengaruhi terhadap pelaksanaan pendidikan agama bagi anak, kenyataan yang kita lihat dalam masyarakat pada akhir-akhir ini menunjukkan adanya gejala bahwa banyak anak-anak orang muslim yang kurang aktif dalam menjalankan agama, hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian pendidikan agama juga pendidikan akhlak pada anak. Ini dikarenakan orangtua yang terlalu sibuk mengejar harta. Jadi kesimpulannya buruh wanita dalam membagi waktunya antara keluarga dengan bekerja dapat mempengaruhi pendidikan agama bagi anak[1].
A.    Sumber Jiwa Pada Anak.
Dalam (Jalaluddin, 2005 : 62), menjelaskan sumber kejiwaan agama adalah emapat macam keinginan dasar yanag ada dalam jiwa manusia itu yaitu:

a.       Keinginan untuk keselamatan (security).
Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun non-biologis, misalnya mencari makan, perlindungan diri, dll.
b.      Keinginan untuk dapat penghargaan (recognation). Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia yang mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk selalu menjadi orang terhormat dan dihormati.
c.       Keinginan untuk ditanggapi (response). Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencintai dan dicintai dalam pergaulan.
d.      Keinginan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience). Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal sekelilingnya dan mengembangkan dirinya. Misalnya pada dasarnya selalu cepat bosan dan jenu terhadap sesuatu dan hal-hal yang selalu ada disekelilingnya. Mereka ingin selalu mencari dan mengetahui sesuatu yang tak tampak dan beraadaa diluar dirinya.
Didasarkan atas keempat keinginan dasar itulah pada umumnya manusia menganut agama menurut W.H. Thomas. Melalui ajaran agama yang teratur, maka keinginan keempat itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan mengabdi kepada Tuhan, keinginan keselamatan akan terpenuhi.
B.     Pendidikan Agama Bagi Anak
Pendidikan agama yang paling mendasar yang perlu ditanamkan pada jiwa anak sejak dini meliputi tiga hal pokok yaitu:
            Pertama, pendidikan untuk mengenal kepada Yang Maha Pencipta. Ini adalah landasan pertama dan paling utama yang harus diperkenalkan kepada anak. Keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Pencipta merupakan pondasi yang paling dasar yang akan menopang seluruh rangkaian perjalanan hidup anak kita sepanjang hayatnya. Untuk mengenal Allah sebagai pencipta, maka kepada anak-anak perlu ditanamkan dasar-dasar logika  paling sederhana yaitu bahwa seluruh benda yang ada di sekitar kita seperti kursi, meja, televisi dan sebagainya, ada pembuatnya. Demikian pula  alam semesta berupa langit, bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, seluruh makhluk hidup dan makhluk tidak hidup, tentu ada penciptanya. Itulah Allah Sang Pencipta. Mustahil benda itu terjadi sendirinya tanpa ada pembuatnya. Jika hal ini  kita tanamkan pada pikiran anak, berarti kita telah mengajarkan tentang sifat wujud bagi Allah. Keyakinan terhadap adanya Allah itulah yang merupakan prinsip pertama dalam  rukun Iman yang harus terlebih dahulu tertanam sebelum iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari kiyamat, dan iman kepada qodho dan qodar. Rukun iman yang kedua sampai keenam akan runtuh kalau rukun yang pertamanya goyah. Karena itu iman kepada Allah harus dimasukkan ke dalam jiwa anak sedini mungkin, sebelum mereka belajar tentang membaca, menulis, berhitung dan lain-lain.  
            Kedua, pendidikan tentang ibadah kepada Allah. Ibadah adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Dalam pengertian yang seluas-luasnya ibadah meliputi segala perbuatan baik yang diridoi Allah. Dalam pengertian yang sempit ibadah meliputi rukum islam yang lima, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Rukun islam yang lima itu merupakan bentuk ibadah yang sudah diatur tata caranya oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam terminology agama Islam itulah yang disebut ibadah mahdoh. Tidak boleh sedikit pun direkayasa oleh kita. Sedangkan ibadah dalam pengertian seluas-luasnya, itulah yang disebut dengan amal salih yakni segala amal perbuatan yang dapat mendatangkan manfat bagi diri pelakunya maupun bagi orang  lain. Adapun tatacara beramal salih, bisa diatur sendiri oleh kita. Misalnya, bagaimana kita berbuat baik kepada sesama manusia, banyak sekali bentuknya dan kita bebas untuk mengatur tata caranya.
 Inti dari segala ibadah adalah shalat lima waktu. Karena itulah Rosulullah memerintahkan dalam sebiuah hadisnya, “Perintahlah anak-anakmu shalat jika sudah usia tujuh tahun. Dan bila usia sepuluh tahun masih belum mau melaksanakan shalat, maka pukullah.” Perintah memukul di sini tentu pukulan sebagai tindakan edukatif.
            Ketiga, pendidikan tentang ihsan yaitu sikap dan sifat komitmen kepada kebaikan karena mempunyai keyakinan bahwa segala perilakunya diawasi oleh Allah. Ihsan berasal dari kata hasan yang berarti baik. Pada waktu Rosulullah s.a.w. ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah ihsan itu?” Jawab Rosul, “ Ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau (Hadis Riwayata Bukhori).
 Menanamkan sifat ihsan kepada anak-anak berarti menanamkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat. Kalau keyakinan ini tertanam kokoh pada jiwa anak, maka keyakinan inilah yang akan membentengi jiwa anak sepanjang hayatnya dari perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Dia akan menyadari  bahwa tidak  ada lahan  yang bisa dijadikan tempat bersembunyi dari  pandangan Allah, sehingga dia melakukan suatu kebaikan bukan karena takut oleh manusia atau karena diperintah oleh orang tua melainkan atas dasar kesadaran pribadi yang timbul dari keimanan kepada Allah. Sikap dan sifat ini sangat penting untuk dijadikan bekal oleh anak dalam mengarungi pergaulan hidup kelak di tengah msyarakat. Dia tidak melakukan kejahatan bukan karena takut oleh polisi atau oleh orang lain, melainkan karena yakin bahwa perbuatannya akan dilihat oleh Allah.
Ketiga landasan itu dalam terminologi islam dikatakan dengan sebutan iman, islam dan ihsan. Tiga landasan itulah perlu kita tanamkan pada jiwa anak sedini mungkin karena ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan untuk membentuk sebuah pribadi muslim yang utuh dan menyeluruh[2].
           
C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jiwa Keagamaan Pada Anak.
-          Menurut Teori four wishes yang dikemukakan oleh perkembangan jiwa keagamaan anak adalah “rasa ketergantungan (sense of defendnce)”
Menurut teori ini, manusia dilahirkan kedunia memiliki empat keinginan:
1.     Security: keinginan untuk mendapatkan perlindungan
2.    New experience: keinginan untuk mendapat pengalaman
3.    Response: Keinginan untuk mendapatkan tanggapan
4.    Recognition: keinginan untuk dikenal
-           Instink keagamaan
Pendapat ini dikemukakan oleh Woodworth, menurutnya, bayi yang dilahirkan sudah memiliki instink, diantaranya instink keagamaan, namun instink ini pada saat bayi belum terlihat, hal itu dikarenakan “beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna”.
-          Fitah keagamaan
Pendapat ini berdasarkan konsep Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang berbunyi:
“Setiap anak dialhirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani aau Majusi”.

Fitrah dalam hadist ini diartikan sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi dikmudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap berikutnya. (Jalaluddin 2002:65, Sururin, 2004:48)
-          Proses timbulnya kepercayaan kepada Tuhan dalam diri anak
a.      Menurut Zakiyyah Darajat, anak mulai mengenal uhan melalui proses:
1.      Melalui bahasa, yaitu dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada mulanya diterimanya secara acuh tak acuh.
2.      Setelah itu karena melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah timbul dalam diri anak rasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang haib yang tidak dapat dilihatnya itu (Tuhan).
3.      Rasa gelisah dan ragu itu mendorong anak untuk ikut membca dan mengulang kata Tuhan yang diucapkan oleh orang tuanya.
4.      Dari proses itu, tanpa disadari anak lambat laun “pemikiran tentang Tuhan” masuk menjadi bagian dari kepribadian anak dan menjadi objk pengalaman agamis.
Jadi pada awalnya Tuhan bagi anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak dikeenalnya, bahkan diragunakan kebaikannya. Pada tahap awal ini anak tidak mempunyai perhatian pada Tuhan, hal ini dikarenakan anak belum mempunyai pengalaman yang mempunyai pengalaman yang membawanya kesana (baik pengalaman yang menyenangkan atau pengalaman yang menyusahkan).
Perhatian anak pada Tuhan tumbuh dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan tertentu.
Ø  Pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan
·         Menurut Zakiyyah Darajat, pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan biasanya tidak menyenangkan, karena Tuhan merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Oleh sebab itu maka perhatian anak tentang Tuhan pada permulaannya merupakan sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya. Hal inilah yang menyebabkan anak sering bertanya tentang zat, tempat dan perbuatan Tuhan. Pertanyaan itu betujuan untuk mengurangkan kegelisahannyaa. Lalu kemudian sesudah itu timbul keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya. Jadi, pemikiran tentang Tuhan adalah suatu pemikiran tentang kenyatan luar, sehingga hal itu disukai oleh anak.
Namun untuk melanjutkan pertumbuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan itu, anak harus menderita dan mendapatkan sedikit pengalaman pahit, sehingga akhirnya ia menerima pemikiran tentang Tuhan setelah diingkariya (Zakiyah Darajat, 2003: 43-45).
-          Menurut Teori Freud, Tuhan bagi anak-anak tidak lain adalah orang tua yang diproyeksikan. Jadi Tuhan pertama anak adalah orang tuanya. Dari lingkungan yang penuh kasih saying yang diciptakan olh orang tua, maka lahirlah pengalaman keagamaan yang mendalam.
-          Menurut Imam Bawani perkembangan agama pada masa anak-anak.
Dibagi menjadi 4 bagian:
1.      Fase dalam kandungan.
Pada fase ini perkembangan agama dimulai sejal Allah meniupkan ruh pada bayi, yaitu ketika perjanjian antara ruh manusia dengan Tuhan (al-A’raf ayat 172).
2.      Fase bayi.
 Pada fase ini belum banyak diketahui perkembanan beragama ana, namun isyarat mengenalkan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti anjuran mengazankan/mengikamatkan ketika anak baru lahir.
3.      Fase anak-anak.
Anak mengenal Tuhan melalui ucapan dan perilaku orang dewasa yang mengungkapkan rasa kagum pada Tuhan.
o   Anak mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran agama.
o   Tindakan keagamaan anak didasarkan pada peniruan
4.      Fase anak prasekolah.
Perkembangan keagamaan anak menunjukkan perkembangan yang semakin realistic (Sururin, 2004: 55-56)


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ø  http://unes36.blogspot.com/2011/10/pendidikan-agama-bagi-anak-anak-usia.html
Ø  Jalaluddin, Psikologi Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 2005
Ø  Zakiyah Darajat, Psikologi Agama, 2003


[2] http://unes36.blogspot.com/2011/10/pendidikan-agama-bagi-anak-anak-usia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar